Masyarakat Sunda secara geografis meliputi propinsi Jawa Barat (tatar Sunda) yang merupakan unsur pembentuk masyarakat Indonesia (bangsa Indonesia), artinya masyarakat Sunda merupakan bagian dari masyarakat Indonesia (Lihat Bhineka Tunggal Ika).
Di dalam pembangunan manusia seutuhnya (pembangunan moral, mental dan spiritual) maka hal ini akan tergantung pada unsur masyarakat kelompok etnis tolok ukur kesatuannya. Dalam hal ini berawal dari pendidikan pada masyarakat kelompok etnis tersebut. Untuk lebih jelasnya bahwa masyarakat Sunda harus terbina seluruhnya.
Masyarakat Jawa Barat (tatar Sunda) dibentuk oleh masyarakat kecil (masyarakat regional-Iokal), dalam hal ini kelompok masyarakat kecil seperti:
Masyarakat Sunda Sumedang, Masyarakat Sunda Garut, Masyarakat Sunda Baduy, Masyarakat Sunda Ciamis, Cirebon, Banten dan lain-lain. Disebut kelompok masyarakat/atau istilah Sunda Garut, Ciamis, Sumedang dan sebagainya, karena hal ini diwarnai oleh unsur-unsur kedaerahan atau ditunjukkan oleh variasi dalam tutur perilaku kehidupan/pranata sosial. Ciri-ciri tersebut diantaranya :
Pengungkapan bahasa, Upacara-upacara tradisional Sistem, mata pencaharian Kesenian. Kelompok-kelompok tersebut pada dasarnya masih sarna-sarna menunjukkan citra masyarakat Sunda yang hidup secara utuh artinya hidup dinamis, kapan di mana dan dengan siapa serta bagaimana harus memerankan dirinya tanpa menghilangkan kesundaannya (tata krama, sopan santun, adat istiadat). Unsur terkecil dari kelompok masyarakat tadi adalah keluarga, yaitu tempat di mana manusia itu lahir, dan dibesarkan, tempat pertama manusia itu dididik, belajar berbahasa, belajar berpakaian, berjalan, berkelakuan baik yang kemudian berkembang dengan Iingkungan sekitarnya, belajar dari . kehidupan para tetangga, ternan sepermainan semakin besar semakin banyak ia dapatkan tentang norma-norma kehidupan. Maka disinilah tempat pembangunan manusia seutuhnya. Apabila pada lingkungan terkecil ini tidak mendapat pendidikan yang baik, at au tidak bermoral baik, maka masyarakat Indonesia tidak akan bermoral baik. Jadi sebagai kesimpulan bahwa masyarakat Sunda dengan perilaku kehidupannya adalah sangat vital bagi keutuhan masyarakat Indonesia. Sistem masyarakat yang dimaksud di sini adalah pengelompokan orangorang dalam suatu masyarakat dan hubungan-hubungan antara individu- individu baik dalam kelampok yang sama maupun antara kelompok yang berbeda Seperti kita ketahui pengelompokan manusia dalam masyarakatnya berdasarkan beberapa hal misalnya : umur, jenis kelamin, bahasa, agama, pekerjaan, tugas hak dan kewajiban dalam hirarchi masyarakat, status kekerabatan dan lain-lain.
Karena sistem kemasyarakatan tumbuh dari kebutuhan masyarakat untuk dapat berfungsi dengan efisien, dan karena hal ini erat hubungannya dengan sejarah serta perkembangan sistem mata pencahariannya yang sedikit banyak berkaitan dengan hal-hal lain dalam masyarakat seperti misalnya pola menetap, penguasaan atas tanah, pemerintahan dan sebagainya.
Sehubungan dengan hal ini maka yang akan dibicarakan secara singkat unsur-unsur utama yang mewarnai sistem mata pencaharian hidup dan beberapa hal yang berkaitan dengan itu. Seperti yang dapat kita lihat di masyarakat Sunda yang relatif masih agak terisolir, yaitu beberapa tempat di Jawa Barat bagian selatan, masih banyak orang yang bercocok makanan umpamanya menanam padi dengan cara ngahuma (berladang). Sehubungan dengan ini dalam kaitannya dengan masalah pencaharian hidup masyarakat di Indonesia, khususnya Jawa Barat, Wertheim dalam bukunya "Indonesia Society in Transition" membagi masyarakat Indonesia (mengenai sistem bercocok tanam) ke dalam tiga pola mata pencaharian utama yaitu :
Masyarakat Pantai, Masyarakat Sawah, Masyarakat Ladang
Secara umum sebagai contoh masyarakat ladang dikemukakannya di daerah Sumatra dan pedalaman Jawa Barat, sedangkan pedalaman Jawa Tengah, Jawa Timur serta Bali oleh Wertheim dimasukkan ke dalam pola masyarakat sawah (Kusnaka Adimihardia dan Edi S. Ekaiati ; 1990 : 144). Selanjutnya Kusnaka Adimihardia mengatakan bahwa terhadap apa yang dikemukakan oleh Wertheim khususnya tentang pedalaman Jawa Barat pada masa lalu, sesungguhnya dapat kita teliti kebenarannya naskah-naskah lama, seperti cerita-cerita rakyat dan dalam prasasti-prasasti yang ada di Jawa Barat.
Menurut Saleh Danasasmita, untuk melihat kehidupan masyarakat Sunda pada masa lalu antara lain kita dapat menelaah naskah Carita Parahyangan. Menurut naskah ini dalam kehidupan masyarakat Sunda hanya dijumpai satu perkataan Sawah dalam rangkaian nama "Sawah Tampian Dalem" Yaitu tempat dipusarakannya Ratu Dewata. Selebihnya kita hanya memperoleh lukisan tentang situasi masyarakat ladang.
Pengaruh pola berladang di tanah Sunda ini masih terlihat di beberapa tempat di Jawa Barat dimana masih ada orang yang "ngahuma" ialah jauhnya tempat tinggal yang satu dengan yang lainnya. Hal ini membawa akibat longgarnya pola hubungan antara yang membawa kecenderungan ke arah sikap individualistis pada masyarakat Sunda yang berladang.
Pola berladang di tanah Sunda berubah pada sistem bersawah terjadi sekitar abad ke-18 ialah ketika VOC (kompeni) ingin agar masyarakat Sunda tingga pada tempat yang menetap, yaitu dengan perubahan cara bertanam padi. Sejalan dengan ini pengaruh Mataram Islam, sebelumnya ialah bersawah dan tempat tinggal dalam perkampungan yang tetap, dengan demikian mendapat sarana yang baik untuk dilaksanakan, dan selanjutnya memberi warna baru kepada perkembangan kebudayaan selanjutnya.
Sehubungan dengan corak individualistis pada masyarakat peladang di Jawa Barat dan dengan tidak terjangkaunya beberapa daerah oleh pengaruh Mataram Islam maka pemakaian bahasa Sundapun di daerah-daerah tertentu seperti misalnya Banten dan daerah Bogor mempunyai ciri-ciri tersendiri ialah tidak mengena tingkat-tingkat bahasa di samping ciri-ciri lainnya salah satu dialek Sunda. Memang pada dasarnya Bahasa Sunda tidak mempunyai undak usuk ataupun tingkat-tingkat bahasa, suatu hal yang mungkin sekali menunjukkan pada jiwa demokratis masyarakat Sunda, terutama masyarakat Sunda purba pada jaman Galuh dan Pajajaran serta sebelumnya. Baru setelah ada pengaruh Mataram Islam sistem kemasyarakatan dan pemerintahan di tanah Sunda berorientasi ke Mataram dengan para Bupati, Wedana, Camat serta dengan undak usuk bahasanya dalam bahasa Jawa maka bahasa Sunda pun mengenal tingkatan bahasanya yang sekarang sedikit banyak dianggap mencerminkan jiwa feodalis dari sejak jaman itu di tanah Sunda terutama Priangan.
Di jaman sekarang ini meskipun sudah banyak unsur-unsur pendemokrasian terdapat di masyarakat Sunda seperti di masyarakat Indonesia pada umumnya, namun masih ada terdapat orientasi ke atas orang Sunda yang cukup kuat. Hal ini ada baiknya, ialah jika diberi kepemimpinan dan teladan yang baik, maka masyarakat Sunda akan mengikutinya seperti yang memang ternyata dari hasil pembangunan sekarang ini bukan saja di Jawa Barat tetapi di seluruh tanah air Indonesia.
Adapun di antara individu-individu di masyarakat Sunda berdasarkan keinginan cita-cita untuk menjadi orang 'bageur' ialah baik hati, diutamakan sekali pelaksanaannya dalam hubungan sehari-hari di masyarakat bukan saja terhadap orang Indonesia lainnya, karena dalam pepatah bahasa Sunda ada yang mengandung ajaran bahwa kita harus baik terhadap 'tamu' termasuk para pendatang. Pepatah itu berbunyi : "Someah hade ka semah".
Wednesday, 17 September 2008
Subscribe to:
Posts (Atom)